Website Resmi SMK Negeri 1 Mempawah Timur

PENDIDIKAN VOKASI DAN TANTANGAN DUNIA KERJA

Oleh : Ridwansyah

Sekolah vokasi atau yang bisa disebut dengan sekolah kejuruan ini, memilik ragam kurikulurn dan proses belajar yang menarik dan sekolah akademis pada umumnya. Di sekolah vokasi siswa akan menemukan berbagai macam keahlian praktis yang sesual dengan kebutuhan industi sehingga hal ini akan memudahkan peserta didik dalam menemukan pekerjaan yang sesual dengan minat dan potensi yang dimilikinya untuk lulus sekolah, Kurikulum yang selaras dengan 70 persen praktik yang dilakukan di lingkungan Sekolah akan menjadikan siswa yang kompeten, serta mampu bersaing di dunia kerja.

Direktorat Jenderal Pendidikan Vokasi (Ditjen Vokasi) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melakukan perombakan kurikulum Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) untuk meningkatkan keterserapan lulusan. Perubahan kurikulum menjadi dasar melakukan link and match dengan industri.

Menurut Dirjen Pendidikan Vokasi Kemendikbud, Wikan Sakarinto mengatakan bahwa  untuk SMK dilakukan lima aspek perubahan.  Kelima perubahan tersebut adalah;

  1. Mata pelajaran yang bersifat akademik dan teori akan dikontekstualisasikan menjadi vokasional. Misalnya, matematika dan Bahasa Indonesia akan menjadi matematika terapan dan Bahasa Indonesia terapan.
  2. Magang atau praktik kerja industri (prakerin) minimal satu semester atau lebih. Lalu,
  3. Terdapat mata pelajaran project base learning dan ide kreatif kewirausahaan selama tiga semester.
  4. SMK akan menyediakan mata pelajaran pilihan selama tiga semester, misalnya siswa jurusan teknik mesin dapat mengambil mata pelajaran pilihan marketing.
  5. Terdapat co-curiculer wajib di tiap semester, misalnya membangun desa dan pengabdian masyarakat.

Demikan pemaparan konsep perubahan dalam kurikulum seperti yang dijelaskan oleh Wikan Sakarinto.

Pendidikan vokasi dan dunia industri kini harus saling berhubungan.Lulusan pendidikan vokasi nantinya bisa diserap oleh dunia industri.

Menurut Direktur Jenderal Pendidikan Vokasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Wikan Sakarinto, ada lima syarat minimal agar link and match antara pendidikan vokasi dan dunia industri dapat terjadi.

“Paket link and match itu setidaknya ada lima,” ujar Wikan seperti dikutip dari laman Kemendikbud, Jumat (18/9/2020).

Berikut ini 5 syarat yang dijabarkan oleh Dirjen Pendidikan Vokasi:

  1. Terciptanya link and match antara vokasi dengan dunia industri adalah pembuatan kurikulum bersama. Di mana kurikulum tersebut harus disinkronisasi setiap tahun dengan industri.
  2. Pihak industri wajib memberikan guru atau dosen tamu. Minimal pengajaran dari dosen dan guru tamu ini dilakukan minimal 50 jam per semester.
  3. Pemberian magang kepada siswa SMK dan mahasiswa vokasi dari industri yang dirancang bersama. Hal ini wajib magang minimal satu semester.
  4. Sertifikasi kompetensi. Kompetensi merupakan hal yang sangat penting untuk lulusan vokasi. Sertifikat dibutuhkan untuk menunjukan level kompetensi lulusan vokasi.
  5. Komitmen menyerap lulusan sekolah vokasi oleh industri. “Paket link and match hingga level menikah yang dirancang dalam mengembangkan teaching factory.

Jadi teaching industri masuk ke dalam kurikulum. Target 80 persen bisa terserap industri.

Harapan keterserapan ke dunia industri menurut Wikan adalah menargetkan 80 persen lulusan pendidikan vokasi dapat terserap ke dunia industri. Sedangkan 20 persen lainnya bisa berbisnis atau ke pekerjaan lain. Sekarang 90 persen ada, 70 persen juga ada.

Kelemahan

Penerapan vokasi di dunia pendidikan Indonesia dianggap belum maksimal, terutama bagi sekolah-sekolah yang jauh dari perkotaan.

Kualitas lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) maupun politeknik tak selalu memenuhi kualifikasi penyedia kerja sehingga masih banyak pengangguran.

Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Bambang Brodjonegoro mengatakan bahwa  vokasi bisa menjadi solusi cepat untuk mengatasi masalah pengangguran. “Kita lihat di struktur pengangguran, di SMK itu tingkat penganggurannya lebih tinggi dari lulusan SMA. Berarti ada yang terbalik kan,

Menurut Bambang banyak penyebab hal tersebut terjadi seperti misalnya karena kompetensi orang tersebut kurang, atau kurikulumnya yang bermasalah. Ada lulusan SMK jurusan listrik yang melamar pekerjaan bidang kelistrikan juga. Meski bidang yang diambil sama, tapi ternyata kemampuan lulusan tersebut dianggap kurang oleh pemberi kerja sehingga gugur. Lulusan tersebut merasa apa yang dibutuhkan perusahaan tersebut tak pernah dipelajari atau didalami sebelumnya semasa menempuh pendidikan. Bisa juga karena kualitas guru yang tidak memadai. Bambang menduga masih ada juga tenaga pengajar yang menggunakan kurikulum lama untuk vokasi sehingga sudah tidak revelan lagi saat ini. Kesalahan lainnya juga ditemukan saat siswa atau mahasiswa vokasi melakukan magang atau praktik kerja lapangan. Sejumlah instansi pemerintah maupun perusahaan swasta membuka lebar kesempatan mereka untuk mencicipi dunia profesional sebelum benar-benar terjun ke lapangan kerja. Namun, tak sedikit anak magang ditugaskan untuk pekerjaan yang tak sesuai dengan apa yang diajarkan dalam kelas.

Misalnya, ada yang hanya disuruh mengantarkan surat, fotokopi, membuat minuman, ataupun memasukkan data ke komputer yang sebenarnya bisa dilakukan sendiri oleh pekerja yang lain. Alih-alih demikian, kata Bambang, semestinya tenaga magang harus dilatih dan disupervisi oleh perusahaan tersebut. Apalagi pemerintah mendorong agar SDM mampu bersaing di era revolusi industri 4.0. Kebutuhan dunia kerja di masa depan bisa jadi akan sangat berbeda dengan apa yang diajarkan di bangku sekolah. Pendidikan vokasi di Indonesia memang bukan hal baru, tapi masih harus banyak dibenahi.  “Yang baru adalah bagaimana si kelompok vokasi ini menjawab kebutuhan pasar,” kata Bambang.

Solusi

Memang tidaklah mudah dalam situasi dan kondisi dimana keragaman pendidikan di Indonesia masih banyak kesenjangan disana-sini. Sementara di satu pihak, pendidikan vokasi ini berkeinginan sesuai dengan harapan namun dipihak lain, kondisi di beberapa daerah yang masih minim sarana dan prasarana pun juga termasuk sumberdaya manusia yang juga masih terbatas.

Satu hal yang patut untuk direnungkan bahwa tingkat kesiapan siswa sendiri sebenarnya “masih” belum siap. Mental mereka masih labil dan ragu sehingga untuk mandiri secara individual sangat sulit.

Disinilah perlu untuk dipikirkan bahwa di SMK perlu upaya perubahan kurikulum yang selama ini sistem paket, maka kedepannya harus menggunakan Sistem Kredit Semester ( SKS ) yang tentunya disesuaikan dengan faktor usia tingkat SMK. Dismaping itu perlu penambahan untuk satu tahun pelajaran, yaitu adanya kewajiban magang selama satu tahun di industri. Pelaksanaannya bisa setelah tamat namun ijazah tidak bisa diambil sebelum mereka menyelesaikan pendidikan tambahan selama setahun.

Tinggalkan komentar